“Premanisme” Perbatikan
Indonesia
Batik merupakan warisan dan identitas
budaya Indonesia. Selain itu batik adalah sebuah kekuatan ekonomi yang berbasis
budaya yang memberikan pengaruh besar terhadap perekonomian Indonesia. Batik Indonesia mampu meningkatkan taraf
hidup bangsa Indonesia menjadi lebih sejahtera, lebih kreatif, lebih memahami standar
dan lingkungan. Di Indonesia para pengrajin batik atau industry kecil menengah batik
pada akhir tahun 2010 berjumlah 55.778 unit, 41.233 unit diantaranya batik
tulis, batik cap dan batik kombinasi dengan total tenaga kerja yang terserap
berjumlah 916.783 orang dari 23 provinsi atau 105 kabupaten/ kota, nilai
produksi rata-rata selama 5 tahun terakhir mencapai Rp 3,941 triliun dan ekspor
rata-rata mencapai US$ 65,58 juta. Produksi terbesar batik terdapat di provinsi
Jawa tengah (35,79%), Jawa Barat (27,47%), DI.Yogyakarta (15,23%) dan jawa
Timur (10,43%) (sumber: Batik Indonesia Soko Guru Budaya Bangsa).
Para pengrajin batik di Indonesia
menyebar dibeberapa tempat baik itu di kota-kota besar maupun di daerah-daerah
yang sulit di jangkau. Didalam industry perbatikan daerah selain adanya
koperasi yang membantu pemasaran dan pembelian produk hasil pengrajin batik,
mulai berjamur pula para tengkulak atau pengepul batik. Dampak negative adanya
para tengkulak adalah tengkulak
seringkali menjadi profesi yang dicap sebagai penyebab panjangnya mata rantai
tata niaga batik. Sebab, memang, tak jarang para tengkulak mengambil keuntungan
tak wajar alias terlalu besar. Apa yang seharusnya jadi jatah pengrajin batik dalam
mata rantai penjualan diambil alih tengkulak. Kadang posisi tawar pengrajin
batik yang lemah membuat tengkulak sering menekan harga sangat rendah namun
kemudian para tengkulak menjual kepada konsumen dengan harga yang sangat
melambung, sehingga system “premanisme” yang terjadi sangat merugikan para
pengrajin batik daerah. Apalagi, jika modal awal para pengrajin batik berasal
dari para tengkulak.
Namun dalam kenyataannya peran
tengkulak tidak dapat di pisahkan dengan para pengrajin batik daerah, karena tengkulak
dapat membantu para pengrajin batik untuk memberikan modal tanpa adanya
birokrasi yang berbelit-belit. Selain itu kadang kala jarak tempat pengrajin batik
dengan tempat untuk pemasaran batik sangat jauh sehingga dapat menambah biaya,
namun dengan adanya tengkulak yang datang ke tempat pengrajin batik dapat
membantu mengurangi biaya transportasi yang harus dikeluarkan para pengrajin
batik. Keberadaan tengkulak adalah sebuah realitas sosial yang tidak bisa
dipisahkan dari kehidupan di pedesaan. Kini,
tinggal bagaimana pemerintah membantu para pengrajin batik daerah dengan cara
memberikan peraturan yang jelas dan menyediakan alternatif pinjaman bagi para pengrajin
batik di pedesaan. Sehingga peran positif para tengkulak diberi porsi maksimal
dengan meminimalkan dampak buruknya.
Dengan begitu, tercipta persaingan
sehat yang akan menguntungkan pengrajin
batik daerah untuk mendapatkan fasilitas kredit ringan dan aman. Juga
terlindung dari system “premanisme” tengkulak nakal yang menghalalkan segara
cara untuk meraup keuntungan dari para pengrajin batik di daerah.
Bandung,
27 Juli 2012
Nadya Lestari
Tidak ada komentar:
Posting Komentar