Kamis, 26 Juli 2012

“Premanisme” Perbatikan Indonesia


“Premanisme” Perbatikan Indonesia
      Batik merupakan warisan dan identitas budaya Indonesia. Selain itu batik adalah sebuah kekuatan ekonomi yang berbasis budaya yang memberikan pengaruh besar terhadap perekonomian Indonesia.  Batik Indonesia mampu meningkatkan taraf hidup bangsa Indonesia menjadi lebih sejahtera, lebih kreatif, lebih memahami standar dan lingkungan. Di Indonesia para pengrajin batik atau industry kecil menengah batik pada akhir tahun 2010 berjumlah 55.778 unit, 41.233 unit diantaranya batik tulis, batik cap dan batik kombinasi dengan total tenaga kerja yang terserap berjumlah 916.783 orang dari 23 provinsi atau 105 kabupaten/ kota, nilai produksi rata-rata selama 5 tahun terakhir mencapai Rp 3,941 triliun dan ekspor rata-rata mencapai US$ 65,58 juta. Produksi terbesar batik terdapat di provinsi Jawa tengah (35,79%), Jawa Barat (27,47%), DI.Yogyakarta (15,23%) dan jawa Timur (10,43%) (sumber: Batik Indonesia Soko Guru Budaya Bangsa).
         Para pengrajin batik di Indonesia menyebar dibeberapa tempat baik itu di kota-kota besar maupun di daerah-daerah yang sulit di jangkau. Didalam industry perbatikan daerah selain adanya koperasi yang membantu pemasaran dan pembelian produk hasil pengrajin batik, mulai berjamur pula para tengkulak atau pengepul batik. Dampak negative adanya para tengkulak adalah tengkulak seringkali menjadi profesi yang dicap sebagai penyebab panjangnya mata rantai tata niaga batik. Sebab, memang, tak jarang para tengkulak mengambil keuntungan tak wajar alias terlalu besar. Apa yang seharusnya jadi jatah pengrajin batik dalam mata rantai penjualan diambil alih tengkulak. Kadang posisi tawar pengrajin batik yang lemah membuat tengkulak sering menekan harga sangat rendah namun kemudian para tengkulak menjual kepada konsumen dengan harga yang sangat melambung, sehingga system “premanisme” yang terjadi sangat merugikan para pengrajin batik daerah. Apalagi, jika modal awal para pengrajin batik berasal dari para tengkulak.
       Namun dalam kenyataannya peran tengkulak tidak dapat di pisahkan dengan para pengrajin batik daerah, karena tengkulak dapat membantu para pengrajin batik untuk memberikan modal tanpa adanya birokrasi yang berbelit-belit. Selain itu kadang kala jarak tempat pengrajin batik dengan tempat untuk pemasaran batik sangat jauh sehingga dapat menambah biaya, namun dengan adanya tengkulak yang datang ke tempat pengrajin batik dapat membantu mengurangi biaya transportasi yang harus dikeluarkan para pengrajin batik. Keberadaan tengkulak adalah sebuah realitas sosial yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan di pedesaan.  Kini, tinggal bagaimana pemerintah membantu para pengrajin batik daerah dengan cara memberikan peraturan yang jelas dan menyediakan alternatif pinjaman bagi para pengrajin batik di pedesaan. Sehingga peran positif para tengkulak diberi porsi maksimal dengan meminimalkan dampak buruknya.
     Dengan begitu, tercipta persaingan sehat yang akan  menguntungkan pengrajin batik daerah untuk mendapatkan fasilitas kredit ringan dan aman. Juga terlindung dari system “premanisme” tengkulak nakal yang menghalalkan segara cara untuk meraup keuntungan dari para pengrajin batik di daerah.
                                                                                                                        Bandung, 27 Juli 2012
                                                                                                                               Nadya Lestari